Harmoni Rindu
Hujan turun dengan syahdu pada subuh pertama bulan yang dirindu. Tak lama, matahari mulai menampakkan diri bersamaan dengan rintik hujan yang perlahan pergi. Dari sudut jendela, terdengar lantunan ayat suci yang ikut mewarnai suasana pagi. Memberikan energi pada sejuta makhuk hidup di pekarangan rumah untuk memulai hari. Burung-burung berkicau riang mengelilingi pepohonan rindang di seberang jalan yang banyak berdiri. Bulir air sisa hujan jatuh dari dedaunan dengan senang hati seolah siap untuk menghidupi bumi.
Aku tersenyum.
Dan disana, seorang anak menatap keluar jendela dalam hening.
***
Ia melepas mukenanya dan berjalan keluar kamar. Bulan yang ia rindukan menjadi penyemangat tersendiri untuk memulai pagi. Namun, hanya sepi yang terasa ketika ia berdiri di depan kamarnya. Kantuk dan pagi yang dingin seolah menjadi satu ikatan yang pasti. Membuat terlelap para manusia penghuni rumahnya. Ia melangkahkan kaki menuju halaman belakang. Aroma tanah basah menyeruak masuk ketika ia membuka pintu. Cahaya matahari menerobos celah-celah kecil di antara awan abu-abu. Semburat kilaunya menciptakan perpaduan indah di langit yang masih sendu. Ia merentangkan tangan dan mengangkat kepalanya, merasakan udara pagi yang selalu ia rindukan. Jauh dari kebisingan kota yang setiap hari ia temui di tanah rantaunya.
Seekor kucing memandang ke arahnya dari balik semak-semak bunga liar. Bergidik waspada karena ia hendak masuk rumah dan mencari makanan. Anak itu hanya melempar senyuman dan menyapanya sebentar "Hai!". Kucing tersebut melangkah mundur. Di sekitarnya, kupu-kupu berterbangan menghinggapi bunga yang bermekaran. Anak manusia itu berputar-putar di halaman rumahnya sambil bersenandung ria. Pijakan kakinya meninggalkan jejak di tanah yang masih basah. Lantunan nada syukurnya terdengar merdu dan indah.
Ia berlari-lari mengelilingi meja bambu di tengah halaman. Dalam hatinya berharap semoga ramadhan ini menjadi salah satu ramadhan terbaiknya. Ia memejamkan matanya, mengambil nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Ia duduk di meja bambu, menatap sekitar dengan penuh rindu. Matanya berkaca-kaca. Ia tersenyum ke arah langit yang sepertinya tidak sedang ingin tersenyum balik ke arahnya. Sambil membayangkan wajah ayahnya saat ia terakhir kali bertemu dengannya di tanah rantau, sebelum pulang kampung di ramadhan masa itu. Ayahnya terbaring koma di atas ranjang rumah sakit dengan wajah yang syahdu. Sambil ia mengingat pula kalimat terakhir yang mampu ia dengar dari handphone kerabatnya ketika ayahnya terbangun, "Ini siapa?" keluar dari mulut ayahnya dengan tempo yang terbata-bata. Oh sungguh, ayahnya tak mengenalinya. Lalu ia juga teringat, tiga hari sebelum hari raya sembilan tahun silam itu, ia terdiam kaku di sebelah peti kayu yang terparkir di rumah neneknya. Diam membeku. Tak kuasa untuk menengok isi peti di hadapannya. Ia hanya mampu memandangi wajah sembab ibunya yang tampak tegar kala itu. Lalu, seorang perempuan paruh baya menghampiri sang anak, mengenggam tangannya dan tersenyum padanya sambil berkata "Ayah tersenyum, mau lihat?". Ia menggelengkan keras kepalanya.
Langit berawan perlahan pergi. Berubah menjadi langit biru bermandikan cahaya matahari. Anak itu bangkit dari duduknya, melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berhenti di depan pintu. Terdiam dan berbalik, lalu tersenyum melambaikan tangan ke arah kucing yang masih tetap diam dan memperhatikannya sejak tadi.
***
Aku disini, hendak mengucapkan terima kasih.
Semoga angin menerbangkannya padamu.
Terima kasih. Terima kasih telah menyimpanku di hatimu, malaikat kecilku..
Comments
Post a Comment