Yang Tak Terdengar di Gemerlap Pesta
Malam itu pukul 20.00, dua belas tahun yang lalu. Jalanan besar di depan Stadion Brawijaya berubah menjadi pasar malam dadakan. Lampu-lampu jalan ditambah penerangan warung-warung yang berjajar dan kendaraan yang berlalu lalang semakin memeriahkan suasana dan gelora semangat disana. Mulai dari anak kecil, anak muda, bapak-bapak, laki-laki maupun perempuan semua berjalan dengan senyum ria nya menuju arah stadion sambil sesekali ditawari kacang rebus, pop corn, permen kapas, atau bahkan atribut suporter oleh pedagang yang dilewatinya. Beberapa kelompok anak muda berbaju khas suporter menyoraki orang-orang di sekitarnya sambil melompat-lompat dan menyanyikan yel-yel tim kebanggan mereka, PERSIK. Ya, malam pertandingan PERSIK lawan Perth Glory Australia itu menyita banyak perhatian masyarakat. Termasuk ayahku.
***
Beberapa menit setelah aku sikat gigi malam dan bersiap untuk masuk kamar, ayahku terlihat hendak pergi. Ia membuka pintu ruang tamu sembari mengenakan sandal dan berbalik lalu menyadariku menatapnya dengan penuh tanda tanya.
“Oh, kakak mau ikut?” tanyanya.
“Kemana?”
“Nonton bola, di stadion. Belum pernah kan? Ini lawannya Australia lo kak”
“Mau ikut…” jawabku sambil menengok setelahnya ke arah ibuku. Menyeringai senyum yang lebar. Agar diperbolehkan.
“Boleh, tapi jangan malam-malam ya pulangnya” jawabnya ke arah ayahku. Yesss. Aku langsung bersiap-siap untuk berangkat.
***
Ayah menggandeng tanganku erat, agar aku tidak terpisah olehnya di antara kerumunan manusia yang tak terhitung jumlahnya ini. Kami berjalan di trotoar yang bahkan harus bergantian jalannya karena menjadi dua arah dan lebih sempit, sisanya dipakai para pedagang menjajakan jualannya. Perjalanan dari tempat parkir menuju pintu stadion sedikit jauh, sehingga kami harus segera sampai disana dan membeli tiket sebelum pertandingan dimulai. Beberapa saat kemudian langkah ayahku semakin cepat. Jalanan yang kami lewati mulai sepi, hanya ada beberapa yang sama-sama bergegas menuju stadion. Sedari tadi ayah bolak-balik keluar trotoar untuk menghindari kerumunan. Berkelok ke kesana kemari diantara para pedagang dan kendaraan. Lalu kembali lagi menuju trotoar. Aku mengikuti langkahnya dengan sedikit berlari.
Tiba-tiba ayahku berhenti dan menengok ke belakang. Ia berjalan cepat berbalik arah sambil merogoh sakunya. Aku yang ditinggalkannya segera mengikutinya. Ayah berhenti di samping becak yang sedang terparkir sendirian di pinggir trotoar. Pengemudinya duduk di jok belakang sambil melipat tangannya dan menundukkan kepalanya, persis seperti orang tidur. Tapi tidak. Ia tidak sedang tidur. Aku mendekatkan kepala ke arahnya. Ia merintih, meski tak jelas terdengar apa yang diucapkannya.
“Pak?” tanya ayahku menyapanya. Tapi tukang becak itu tidak berkutik sedikit pun. Ayah mencoba menepuk bahunya.
“Pak..” tukang becak tersebut akhirnya bangun setelah merintih pelan sambil memegangi perutnya. Wajahnya sayu. Air matanya hampir jatuh. Ayah memberinya sedikit uang—yang mungkin hanya bisa digunakan untuk membeli satu porsi makanan.
“Ini buat makan” ayahku menggenggam tangannya.
“... oh! Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih. Terima kasih banyak.” matanya berkaca-kaca. Bapak tukang becak tidak berhenti mengucapkan terima kasih sambil membungkukkan badannya. Senyum bahagia terukir di wajahnya. Aku melihatnya.
Ayahku tersenyum mengangguk pada tukang becak dan menggandeng tanganku lagi, berbalik arah, mengajak bergegas ke stadion. Aku pun berusaha menyamai langkahnya lagi. Ia terlalu cepat. Aku berulang kali menengok ke belakang—sambil melangkah cepat ke depan—mencoba memperhatikan bapak tukang becak tadi. Ia menarik becaknya ke jalanan dengan senyum yang masih terkembang. Memancalnya dengan penuh semangat. Aku tau itu. Terlihat dari gerak gerik tubuhnya. Sangat berbeda dengan sebelumnya, saat ia merintih dan memegangi perutnya. Bapak tukang becak itu hilang di kerumunan kendaraan. Aku saat itu masih berumur 9 tahun. Hanya bisa menatapnya, termangu dan terharu sambil bergantian menatap ayahku. Aku tersenyum. Bapak tukang becak bahagia sekali. Apa sedari tadi ia tidak dapat penumpang? Mengapa tidak ada yang tau ia kelaparan? Mengapa ayahku dengar? Padahal rintihannya hampir tak terdengar di tengah keramaian pesta ini.
Pengumuman dari pengeras suara di sekitar stadion mulai terdengar. Kami hampir sampai. Sorak sorai para suporter bersahut-sahutan. Ayahku bersegera membeli tiket di pintu loket. Petugas kemudian melingkarkan tiket di pergelangan tanganku. Orang-orang bercengkerama ria hendak masuk stadion. Melihat wajah-wajah bahagia di sekitarku, aku tau. Bapak tukang becak pastilah pandai bersyukur. Aku pun juga harus seperti itu. Beberapa meter sebelum masuk pintu stadion, ayahku berhenti di depan pedagang kacang rebus.
“Kakak mau kacang rebus?”
Aku terdiam.
Tidak. Aku tidak ingin kacang rebus.
Disaat semua orang sibuk dengan tujuannya sendiri. Bersama kelompoknya sendiri. Berbahagia sendiri. Aku ingin seperti ayahku. Aku ingin mendengar dengan hati.
Comments
Post a Comment